Friday, March 21, 2014

Marriageable - Riri Sardjono


Judul: Marriageable
Penulis: Riri Sardjono
Editor: Windy Ariestanty
Proofreader: Mita M. Supardi
Penata letak: Gita Ramayudha
Desain sampul: Dwi Annisa Anindhika
Diterbitkan oleh: Gagas Media
Cetakan ketujuh, 2013
Jumlah halaman: x + 358 hlm; 13 x 19 cm
ISBN: 979-780-651-0
Genre: Novel dewasa, Adult, Romance Indonesia, Romance, Indonesian Literature, Chicklit
Status: Punya. Beli di Rumah Buku. Harganya 49rb, diskon 20% + 2%
Kipas: Nggak ada kipas rontok, kok. Soalnya emang bukan buku kipas :D
Namaku Flory. Usia mendekati tiga puluh dua. Status? Tentu saja single! Karena itu Mamz memutuskan pencarian Datuk Maringgi abad modern untukku.
"Kenapa, sih, gue jadi nggak normal cuma gara-gara gue belom kawin?"
"Karena elo punya kantong rahim, Darling," jawab Dina kalem.
"Kantong rahim sama kayak susu Ultra. Mereka punya expired date."
"Yeah," sahutku sinis. "Sementara sperma kayak wine. Masih berlaku untuk jangka waktu yang lama."
Mamz pikir aku belum menikah karena nasibku yang buruk.
Dan kalau beliau tidak segera bertindak, maka nasibku akan semakin memburuk. Tapi Mamz lupa bertanya apa alasanku hingga belum tergerak untuk melangkah ke arah sana.
Alasanku simple. Karena Mamz dan Papz bukan pasangan Huxtable. Mungkin jauh di dalam hatinya, mereka menyesali keputusannya untuk menikah. Atau paling tidak, menyesali pilihannya. Seperti Dina, sahabatku.
"Kenapa sih elo bisa kawin sama laki?"
Dina tergelak mendengarnya. "Hormon, Darling! Kadang-kadang kerja hormon kayak telegram. Salah ketik waktu ngirim sinyal ke otak. Mestinya horny, dia ngetik cinta!"
See?
"Oh my God!" desah Kika ngeri. "Pernikahan adalah waktu yang terlalu lama untuk cinta!"
Yup!
That's my reason, Darling!
Mau lihat sinopsis dan review saya versi serius? Silakan baca di blog buku saya aja. Kenapa saya posting di CG sini? Ada salah satu sudut pandang yang menggelitik saya ketika baca buku ini.

To the point aja, ya *kayak nulis surat*

Saya takjub waktu baca kalimat persetujuan Flory menikah dengan Vadin dengan syarat: "nggak mau have sex."

Oke. Sebenernya saya nggak takjub-takjub amat. Karena, beberapa tahun yang lalu, ada salah seorang teman saya yang menikah tapi nggak mau ML sama suaminya di awal-awal pernikahan. Katakanlah, sampai lebih dari satu tahun pernikahan mereka, dia masih perawan!

Yang bikin saya senang di cerita Marriageable ini, setelah menikah dan hidup serumah, Vadin dan Flory hidup terpisah di kamar yang berbeda. Nggak cuma pisah ranjang tapi pisah kamar. Sounds good untuk sebuah syarat nggak mau have sex.

Saya salut sesalut-salutnya sama Vadin. Sumpah! Ini bikin saya sukaaaaaaaaaaaa banget sama Vadin. Dan bagus banget emang di cerita ini, meski hidup serumah, menikah, nggak mau have sex tapi tinggal dan bobo di kamar terpisah. Jadi, Vadin ga perlu nelen ludah, sakit kepala atau sampe masturbasi nontonin film porno *ga diceritain sih, untungnya, karena Vadin mending main game kek Warcraft gitu ketimbang nonton blue film* kalo dia jadi "naik" gegara partner sekamarnya lagi telentang menantang.

Nah, berbeda dengan temen saya, kalo boleh saya bilang GOBLOK banget, mereka hidup serumah *saya lupa apa mereka masih nebeng mertua atau ngontrak rumah saat itu* yang jelas, mereka tinggal sekamar, bobo di kasur yang sama. Laki-laki straight mana yang sanggup cuma tidur doang di masa bulan madu sementara di sebelahnya ada someone-he-married-to yang bisa ditelanjangin, ditindihin kapan aja semau dia? Karena emang udah haknya, kan? Aduh, kok, bahasa saya kasar begini, ya... Abis tadinya mau nulis diuhuk-uhuk-in, emangnya batuk? Ya digamblangin deh. Someone-he-married-to yang bisa diajak bersetubuh kapan aja sesuai aturan *obat keleeuus*.

Waktu itu, saya belum menikah. Baru putus ama mantan pacar dan lagi deket sama sahabat yang jadi suami saya. Namun, sejak saya SMA, saya tahu bahwa menikah itu identik dengan have sex sebagai pemenuhan kebutuhan biologis yang sah baik secara agama mau pun secara kenegaraan. Di buku pelajaran Biologi kelas 1 saya malah ada ilustrasi saat Mr. P sedang penetrasi ke Miss V. Saat itu, emang yang kebayang linu. Pertanyaan yang selalu menggantung sejak melihat ilustrasi itu adalah: "sakit, nggak, ya, dimasukin benda kek gitu?"

Tapi, saya nggak pernah nanya ke siapa-siapa, bahkan ke ibu saya sendiri. Kenapa? Saya malu. Pasti ditabok. Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai nemu literatur-literatur *thanks to adult magazine*, yang sering saya baca bagian tips seks-nya. Bukan saya maniak seks. Tapi, someday, kalo saya sudah waktunya melakukan hubungan seks, saya harus tahu kenapa orang suka melakukannya, kenapa harus melakukannya atau kayak apa rasanya. Karena, dengan ilustrasi "ilmiah" di buku pelajaran Biologi saya dulu, bertahun-tahun di kepala saya kan pertanyaannya cuma satu: "sakit ga?"

Dan alasan itu juga yang menjadi ketakutan teman saya yang nggak mau have sex sampai lebih dari setahun pernikahannya. Dia sering dengar entah dari siapa aja, pokoknya semua bilang, "seks di malam pertama itu sakit banget." Dan dia ketakutan banget.

Saya sampai iseng nanya, "terus, suamimu ngapain kalo dia lagi pengen ML sama kamu?"
Temen saya kaget dengan pertanyaan yang keluar dari mulut saya. "Kok, kamu berani nanya gitu? Kalimatmu..."
Saya jawab, "kita udah dewasa. Saya juga udah masuk usia boleh menikah. Kenapa saya ga boleh nanya kayak gitu? Kenapa tabu buat saya nyebut kata ML? Setahu saya, ML dengan suami itu kan sama dengan melayaninya makan, nyediain baju, dll. Masuknya ibadah, tauk!"
Dia cuma jawab, "katanya sakit..."
Saya bilang, "terus, kalo katanya sakit, kenapa bintang film porno doyan main film adegan seks? Konon, katanya, mereka malah menikmati. Coba, deh, kamu nonton film porno. Satu aja. Kali aja pengen nyoba beneran."

Saya tahu, saran saya ngehe banget. Dia langsung menghajar saya pake bantal.

Masalahnya, saya pernah nonton adegan film salah satu dokumentasi ensiklopedia tentang making love, saya sama suami jadi horny kok. Terus bisa ditebak kelanjutannya gimana. Padahal di film itu banyak narasi yang beneran nggak perlu tampil *yah, namanya juga film dokumenter*. Bukan kayak film-film porno yang suaranya cuma "ah", "uh", "yes", dll gitu. Entah kalo kami berdua nonton film-film yang suaranya cuma "ah", "uh", "yes", dll gitu. Mungkin lebih bisa ditebak lagi kelanjutannya gimana :P

Intinya, kalo ada dua manusia, laki perempuan, berada dalam jarak sangat dekat dan keduanya saling punya ketertarikan, rasanya aneh banget kalo kemudian nggak terjadi apa-apa. Apalagi kalo statusnya udah halal, sah. Nah, waktu itu saya sempat iseng nanya ke sahabat saya yang kemudian jadi suami, "Kang, kalo kita menikah terus saya nggak mau ML dulu sama Kakang karena takut sakit, *sambil nyeritain kisah teman kami itu*, gimana?"

Mau tau jawaban beliau apa?

"Pulangin aja"

Nah, lho!

Apakah kalian penasaran dengan kelanjutan teman saya itu? Yah, saya nggak tau apa yang menggerakkannya akhirnya mau ML sama suaminya, karena yang jelas, anak mereka sekarang empat. Dua di antaranya kembar. Keempatnya cowok semua. Hihihi...
Pengen, sih, ngeledek, pas dia hamil anak pertama, "wah, gimana caranya hamil? Kan kamu ga ML?" Tapi waktu itu saya ga punya kesempatan buat ngeledek. Heuheu...
Pun pas kehamilan ketiganya yang kembar itu, rasanya pengen banget ngeledek, "doooo... sekarang udah doyan, yaaa..." tapi kok, sounds nyinyir banget, yaaaa.... #plak

Apakah kalian penasaran dengan Vadin dan Flory? Ya, mereka ML, kok, akhirnya, karena ga sengaja. Vadin ga sengaja ngeliat Flory bugil di kamarnya sehabis mandi. Terus abis itu, setelah Vadin keluar kamar karena diusir Flory, malah si Flory mancing-mancing ngajak ciuman sama Vadin dan akhirnya kejadian deh tuh have sex.

Nah, maafkan saya kalo review saya kali ini penuh dengan sop iler. Hihihi....

Friday, March 7, 2014

Fanta C by Sandra Brown


Judul Buku : Fanta C

Penulis : Sandra Brown

Halaman : 256

Penerbit : Fanfare

Suatu hari, di grup WA-nya CG ada pembicaraan mengenai buku yang bisa direkomendasikan untuk pembaca pemula khusus genre "kipas" seperti yang diusung oleh CG ini. Salah satu anggota menyebutkan novel Fanta C dari Sandra Brown. Sebagai penggemar SB, saya segera nyari buku ini. Dan benar... dari paragraf awal sudah harus sedia kipas deh :)

Elizabeth Burke telah menjanda selama dua tahun sejak kematian suaminya dalam sebuah kecelakaan. Saat ini dia hidup bersama dua orang anaknya, Megan (8 tahun) dan Matt (6 tahun). Untuk menghidupi keluarga kecilnya, Elizabeth membuka toko souvenir di sebuah hotel bernama "Fantasy". Sebenarnya nama ini terinspirasi dari plat mobil "Fanta C" pemberian adiknya. Plat mobil yang membuatnya sering dilirik oleh pengendara mobil lainnya.

Selain nama toko dan plat mobilnya, Elizabeth memang seringkali berfantasi "liar". Khayalannya itu ga jauh deh dari adegan "kipas". Terkadang dia membayangkan antara penjaga istal kuda dengan nona majikannya, terkadang antara bajak laut dengan seorang putri bangsawan. Lilah, adiknya, kemudian menyarankan Elizabeth agar menuliskan fantasinya itu menjadi sebuah cerita dan mengirimkannya ke penerbit. Kebetulan sedang ada kontes menulis yang berhadiah uang dengan jumlah lumayan. Elizabeth tertarik, tapi dia malu untuk melakukannya. Baginya fantasi itu hanyalah  untuk dia sendiri saja, dan bukan konsumsi publik. Tapi karena memang butuh uang, Elizabeth pun menuliskan fantasinya dan menminta Lilah mengirimkannya dengan nama samaran.

Di sebelah rumahnya Elizabeth, tinggal seorang pria lajang. Usianya sepertinya lebih tua dari Elizabeth. Megan dan Matt sangat akrab dengan pria yang bernama Thad Randolph ini. Beberapa kali Elizabeth membayangkan dirinya dengan Thad dalam adegan intim. Tapi Elizabeth adalah wanita yang selalu penuh perhitungan dan berhati-hati. Dia tidak mau ada gosip yang beredar tentang dirinya yang seorang janda menggoda pria lajang. Alhasil, seringkali Elizabeth curiga kalau Thad menawarkan bantuan untuknya dan keluarganya.

Namun yang namanya chemistry, kalau sudah muncul antara pria dan wanita, tentu saja sulit dihindari. Suatu waktu, Elizabeth diajak makan malam oleh bos-nya, sementara Thad menawarkan dirinya untuk menjaga anak-anak. Ketika Elizabeth pulang larut malam dari kencannya, dia mendapati Thad masih ada di rumahnya. Thad yang cemburu berat menyerbu masuk ke kamar tidur Elizabeth dan mewujudkan salah satu fantasi liar Elizabeth. Malam itu mereka habiskan berdua memuaskan apa yang selama ini terpendam. Namun ketika keesokan harinya Elizabeth tahu kalau Thad sudah membaca salah satu tulisannya. Elizabeth malu banget, sampai dia bersikap defensif dan memarahi Thad karena telah melanggar privacy-nya.

Elizabeth adalah gambaran wanita pada umumnya. Tentu saja seorang wanita pasti pernah berfantasi "liar" seperti Elizabeth. Hanya saja (lagi-lagi seperti Elizabeth) beberapa orang berusaha memendamnya, menyimpan rapat-rapat dan malu untuk mengakuinya karena takut pada omongan orang lain. Saya menyukai salah satu pernyataan bijak Thad kepada Elizabeth dalam novel ini,
"She is you. She's what you secretly think, how you feel about sexuality, how you feel about love, what you want in bed but would never ask for. Just like the moon, we all have a dark side, a part of us that the world doesn't see. It's in our makeup and is nothing to be ashamed of." 
Saya jadi paham kenapa teman saya itu merekomendasikan novel ini untuk pembaca pemula genre "kipas". Banyak lho yang malu membaca kisah romance yang hot, ada juga yang memberikan pandangan negatif untuk para pembaca genre ini, menganggap genre ini adalah picisan.  Padahal membaca romance  itu banyak manfaatnya juga seperti yang pernah diposting sebelumnya di blog ini.

Thad sendiri bukan orang yang jaim. Ketika dia menyukai Elizabeth, dia juga menyayangi kedua anaknya. Bagi Thad, Megan dan Matt itu satu paket dengan Elizabeth. Dia sendiri tidak memaksa Elizabeth ketika Elizabeth menutup diri, melainkan memberi ruang dan waktu bagi Elizabeth untuk memilih keputusannya sendiri.

Ohya, novel ini sudah ada terjemahannya yang diterbitkan oleh GPU. Silahkan dicari, dibaca dan diambil hikmahnya ya :)

Wednesday, March 5, 2014

Bedroom Therapy by Rebecca York


Judul : Bedroom Therapy
Penulis : Rebecca York
Halaman : 256 (ebook)
Penerbit : Harlequin Blaze

Amanda O'Neal memulai karier barunya sebagai "sexual advice columnist" di majalah Vanessa (sebuah majalah wanita) berbekalkan latar belakang pendidikannya sebagai seorang doktor di bidang human sexuality. Sebenarnya dia melakukan pekerjaan ini atas permintaan sahabatnya yang menajdi editor di sana. Kolumnis sebelumnya yang bernama Ester Knight meninggal akibat sebuah kecelakaan. Karena rating kolom tersebut cukup tinggi, maka Amanda diminta menggantikan penulis sebelumnya dengan menggunakan pseudonym Esther Scott.

Zachary Grant adalah seorang detektif swasta yang diminta oleh keluarga Esther Knight untuk menyelidiki kematian Esther. Keluarganya merasa ada yang tidak wajar dari sekedar kecelakaan. Berhubung Amanda sendiri pernah menjadi kolega Esther, dan sekarang menggantikan Esther di majalah Vanessa, Zach merasa perlu mewawancarai Amanda. Ternyata benar, ada yang tidak wajar dengan kecelakaan Esther. Suatu malam, rumah Amanda dimasuki orang yang tidak dikenal. Merasa bertanggung jawab atas keamanan Amanda, Zach meminta Amanda pindah rumah. Di rumah yang baru, Zach tinggal bersama Amanda hingga dia menemukan siapa pelaku pembunuhan terhadap Esther.

Kalau lihat judul dan covernya, gak mungkin dong kisahnya hanya soal pembunuhan saja. Yang menarik adalah pekerjaan dari Amanda sendiri. Sebagai seorang kolumnis yang mengasuh rubrik seksual, dia mendapatkan banyak sekali surat seputar masalah seksual yang dialami baik wanita maupun pria. Di novel ini ditunjukkan sebagian suratnya. Misalnya kayak begini

Dear Esther,I have a new boyfriend. He's a lot more into foreplay than the last guy I went with. Anyway, last night we were fooling around. He started stimulating my breasts, and all of a sudden, I had an orgasm. I mean, all he was doing was kissing me and playing with my nipples and I went off like a firecracker. Is that normal? (Embarrassed in Ohio)
atau surat seperti ini...

Dear Esther,My boyfriend and I keep having the same argument about what we do when we're making love. He wants me to do oral sex on him. But he hates doing it to me. So I feel like I'm getting—um—the short end of the stick.

Terkadang Amanda merasa hot sendiri membaca surat-surat itu. Nah pada saat pertama kali Zach datang menemui Amanda, Amanda lagi horny habis baca beberapa surat. Dia udah siap-siap dengan vibratornya, tiba-tiba ada yang ngetuk pintu rumahnya. Begitu lihat penampilan Zach, dia tambah horny deh. Zach sendiri sempat membaca sebagian surat pembaca karena ada di meja kerjanya Amanda, dan dia mulai merasa "gerah" apalagi Amanda sendiri sangat menarik di matanya. Zach penasaran, apakah pengalaman Amanda sebaik pengetahuan akademisnya.

Ketika mereka tinggal serumah, Zach mulai melakukan pendekatan pada Amanda. Diawali dengan phone-sex (padahal mereka seatap) sampai skenario self-pleasuring yang dirancang oleh Zach. Amanda yang ga puas hanya dengan self-pleasuring pun meminta Zach untuk melakukannya untuknya. Zach yang awalnya keberatan, akhirnya tidak bisa menolak. Anehnya, Amanda udah dapat "big O" beberapa kali, Zach masih juga "tegak" dan belum mencapai "that O". Ternyata Zach memiliki masalah akibat trauma masa lalu. Dia bisa mendapatkan kepuasan jika melakukannya sendiri, tapi begitu berhadapan dengan wanita, dia tidak bisa. Amanda ingin sekali membantu Zach, tapi yang ada Zach malah menutup diri.

Well, apakah sang doktor mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh pria yang dicintainya? :) Kombinasi antara suspense dan romance ini layak mendapat 3 kipas.